“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (Al-Bukhari)
Tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Selalu saja ada kekurangan. Boleh jadi ada yang indah dalam rupa, tapi ada kekurangan dalam gaya bicara. Bagus dalam penguasaan ilmu, tapi tidak mampu menguasai emosi dan mudah tersingung, kuat di satu sisi, tapi lemah di sudut yang lain.
Dari situlah kita harus cermat mengukur timbangan penilaian terhadap seseorang. Apa kekurangan dan kesalahannya. Kenapa boleh begitu, dan seterusnya. Seperti apa pun orang yang sedang kita nilai, keadilan tidak boleh dilupakan. Walaupun terhadap orang yang tidak disukai, yakinlah kalau di balik keburukan sifat seorang mukmin, pasti ada kebaikan di sisi yang lain.
Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang beriman agar senantiasa bersikap adil. Perhatikan firman-Nya ini:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) kerana Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerana adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maidah 5 : 8)
Dengan timbangan yang adil, maka penilaian kita boleh jadi profesional, tidak serta-merta menilai bahawa orang itu pasti salah. Mungkin ada sebab yang membuat ia lalai, lengah, dan kebuntuan mengendalikan sesuatu. Bahkan mungkin jika kita berada di posisi dan situasi yang sama, kita pun tidak lebih bagus dari orang yang kita nilai. Kerana itu, lihatlah terlebih dahulu kekurangan dalam diri kita sebelum kita menilai kekurangan orang lain.
Ego manusia cenderung mengatakan, "Sayalah yang lebih baik dari yang lain". Ego seperti inilah yang kerap membuat timbangan penilaian jadi tidak adil. Kesalahan dan kekurangan orang lain begitu jelas, tapi kekurangan diri sendiri tidak pernah terlihat. Padahal, kalau saja bukan kerana anugerah Allah SWT yang berupa tertutupnya aib diri, tentu orang lain pun akan secara jelas menemukan aib kita.
Sebahagian dari kita, ada yang boleh menahan diri untuk tidak "menyelak kain" atau membicarakan aib orang lain, tapi ada juga sebahagian dari kita yang sulit menahan diri untuk tidak menggambarkan keburukan seseorang kepada orang lain. Bagi sebahagian orang, hal ini terasa sulit, kerana lidah kerap kali jadi nakal. Selalu saja terjentik untuk menyampaikan isu-isu baru yang menarik. Walau sebenarnya dia mengetahui, bahawa sesuatu yang menarik buat orang lain kadang buruk buat bahan yang dibicarakan. Di situlah ujian seorang mukmin untuk mampu memilih dan menilai, mana yang perlu dikhabarkan dan mana yang tidak. Perhatikan sabda Rasulullah SAW sebagai berikut, "Tidak akan masuk syurga orang yang suka mendengar berita rahsia orang lain." (Al-Bukhari).
Sebaiknya, sebelum kita memberi reaksi terhadap aib orang lain, lihatlah dengan jujur seperti apa diri kita lebih baik atau lebih buruk? Apabila ternyata kita lebih baik, maka bersyukurlah, namun jika ternyata kita lebih buruk, maka segera bertaubatlah. Inilah yang dimaksud dengan, "bahawa seorang mukmin, adalah cermin bagi mukmin lainnya. Dan bila kita menemukan bahawa diri kita masih lebih baik dari saudara semukmin kita, jangan menjadikan kita sombong dan jangan menyebarkan aib orang lain."
Seorang mukmin dengan mukmin lainnya adalah bersaudara. Perhatikan firman Alllah SWT berikut ini,
"Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat." (QS. Al Hujuraat 49 : 10)
Ketahuilah, orang yang gemar membicarakan aib orang lain, sebenarnya tanpa ia sedari, ia sedang memperlihatkan jati dirinya yang asli, iaitu, tidak boleh memegang rahsia, lemah kesetiakawanannya, penggosip, penyebar berita bohong (kerana belum tentu yang diceritakannya benar). Ketahuilah, semakin banyak aib yang ia bicarakan dan disebarkan, maka semakin jelas keburukan diri si penyebar.
Lihatlah pula firman Allah SWT berikut ini,
"Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat … (QS. An-Nur 24 : 19).
Dan perhatikan juga firman-Nya dalam ayat yang lain,
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat 49 :12).
Perhatikan hadith berikut ini: "Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya sesama muslim, maka Allah SWT akan membelanya dari neraka kelak di hari Kiamat." (HR. Tirmidzi 1932, Ahmad 6/450)
Perhatikan juga sabda Rasulullah s.a.w. berikut ini: "Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab para sahabat : Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata Nabi s.a.w.: Engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya. Kata para sahabat: Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab Nabi s.a.w.: Jika apa yang kamu bicarakan benar-benar ada padanya maka kamu telah mengghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kamu telah membuat kedustaan atasnya." (HR Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935)
Jadi bila masih ada dari kita yang kadang masih suka membicarakan dan atau mengungkapkan aib orang lain (sekalipun aib itu benar) maka sedarlah segera, kerana ghibah merupakan dosa besar yang hanya akan diampuni, setelah orang yang kita ghibah memaafkan kita. Dan biasanya, kebanyakan dari kita, sangat malu untuk meminta maaf dan mengakui kesalahan kita, pada orang yang telah kita bicarakan aibnya.Manusia yang paling baik untuk dirinya sendiri adalah yang paling bisa mengendalikan lidahnya